Kolateral/jaminan/kesejajaran
nilai uang kertas(bisa emas dan sekarang bisa dolar yg dimiliki negara pencetak
uang kertas)
ndonesia sudah merayakan hari kemerdekaan yang ke 60 tahun.
Hari kemerdekaan 60 tahun yang lalu dipersepsikan sebagai tonggak awal dari
kebebasan dan untuk mencapai keadilan bagi bangsa Indonesia. Tetapi bagi saya,
pada saat proklamasi kemerdekaan dibacakan, bukan kebebasan dan keadilan yang
kita peroleh, tetapi merupakan awal dari ketidak adilan ekonomi dan penghisapan
ekonomi. Ini opini saya dan akan kita bahas dalam uraian di bawah ini. Saya
tidak berharap anda setuju dengan saya. Kita merdeka kok, dan saya tidak bisa
memaksakan pandangan saya kepada anda, tetapi kalau anda objektif, saya yakin
anda akan setuju dengan saya.
Kalau kita tanyakan apa arti kemerdekaan, mungkin sekali jawabannya bagi masing-masing orang berbeda. Ada beberapa kata yang berkaitan dengan kemerdekaan. Kemerdekaan, kebebasan, ketidak terikatan yang mungkin masing-masing bepadanan dengan independence, freedom, liberty, dalam bahasa Inggris. Bagi Amerika Serikat (US), freedom berarti menyerang Iraq, Vietnam, Afganistan atau Granada. Bagi para pekerja asing, expatriate, di Indonesia, hari kemerdekaan Indonesia adalah periode sibuk baris-berbaris, main panjat pinang dan banyak pidato di RT/RW. Bagi anak sekolah adalah masa libur atau tidak banyak masuk kelas. Bagi pengendara motor, merdeka artinya semau-gue di jalan raya.
Katanya (saya tekankan, katanya), salah satu aspek kemerdekaan adalah adanya keadilan dan bebas dari penghisapan ekonomi. Katanya, pada jaman Belanda ada tamam-paksa, pajak yang tinggi yang merupakan bentuk penghisapan ekonomi. Dalam kontek ekonomi, nenek saya almarhumah, dulu, di tahun 60an sering mengeluh:”kapan sih merdekanya dan revolusinya selesai”. Di tahun 70an dia juga mengeluh:”kapan pembangunannya selesai”. Dia ingin kembali ke jaman normal (sebutan dia untuk jaman Belanda), jaman dimana harga relatif stabil dan hidup berkecukupan. Bagi nenek saya yang mengalami jaman normal, jaman kemerdekaan dan jaman pembangunan, bisa membandingkan dan tahu persis mengenai ketiga jaman tersebut. Saya hanya tahu dari sejarah. Dan banyak dari anda – pembaca sekalian – tidak tahu apa-apa mengenai perbandingan ketiga jaman ini, karena pengetahuan sejarahnya kurang atau tidak peduli. Waktu jaman normal dulu, katanya, duit 2 sen bisa untuk makan sehari. Rumah di Kali Urang harganya 1000 sampai 2000 perak. Katanya. (Catatan: Rupiah, Rupee artinya perak). Sekarang, mana dapat segitu. Kata orang-orang karena inflasi. Pengertian nenek saya, inflasi adalah bertambahnya angka nol di mata uang yang beredar. Kalau dulu hanya ada Rp 100 dalam peredaran, kemudian muncul Rp 1000, muncul lagi Rp 10,000. Kemudian kalau sudah kebanyakan nol nya dikeluarkan uang baru, Rp 1000 lama ditukar dengan Rp 1. Angka nol sudah kebanyakan terpaksa dibuang karena takut tidak cukup tempatnya.
Uang Kertas Fiat dan Inflasi
Bagi orang yang tidak tahu, inflasi dianggap suatu fenomena ekonomi yang alami. Maksudnya bukan buatan manusia. Bukan hasil rekayasa. Pendapat ini yang salah. Inflasi adalah bertambahnya uang yang beredar tanpa dibarengi oleh pertambahan barang dan jasa. Konsekwensinya harga-harga menjadi naik. (Kenaikan harga adalah konsekwensi dari inflasi). Dengan kata lain bahwa nilai uang menjadi turum. Siapa yang menambah uang yang beredar yang konsekwensinya nilainya turun? Ya tentu saja yang berwenang mengeluarkan uang – pemerintah. Dan juga pemalsu uang, yang tentunya kalau tertangkap akan dipenjara.
Persepsi orang awam, untuk mencetak uang kertas harus ada cadangan emasnya sebagai kolateral/jaminan. Persepsi ini salah. Secara teknis, saat ini tidak ada aturan mengenai berapa banyak uang yang boleh dikeluarkan oleh pemerintah. Uang kertas rupiah yang beredar bukan uang sejati, tetapi uang fiat. Artinya uang fiat adalah uang yang disokong oleh undang-undang bukan oleh nilai intrinsik fisik uang itu sendiri. Misalnya emas atau perak, mempunyai nilai intrinsik tertentu seharga/sebanding beratnya. Sedangkan uang nominal Rp 100,000 misalnya, nilai intrinsik dari kertas, tinta dan ongkos cetaknya jauh dibawah nilai nominalnya yang Rp 100,000 itu. Tanpa undang-undang yang melindunginya, harga uang kertas Rp 100,000 tidak lebih dari uang game Monopoli. Saya lebih suka menyebut uang fiat ini sebagai uang politikus, karena biasanya ada gambar politikus atau gambar orang yang dibanggakan (dijadikan pahlawan) oleh politikus.
Kalau begitu pemerintah bisa seenak udelnya mencetak uang dan mengedarkannya? Betul! Sejarah telah membuktikannya. Mungkin ada otoritas keuangan yang menyanggah pendapat saya. Seandainya ada aturan yang mengontrol penambahan volume jumlah uang yang beredar, tidak akan membatasinya. Mungkin hanya smoke screen saja.
Inflasi Sebagai Alat Penghisapan
Pajak merupakan cara yang tidak populer untuk menarik uang dari masyarakat. Kalau pajak tinggi, jangan harap partai yang berkuasa akan bisa terpilih lagi. Ada cara legal yang tidak terlalu canggih tapi terselubung dan spektrumnya yaitu melalui inflasi. Dengan inflasi, sektor-sektor yang sensitif seperti semua bentuk tabungan dari mulai tabungan pensiun, tabungan harian, deposito terkena. Orang masih toleransi kalau penghasilannya dipajaki karena dia masih bekerja, masih bisa menghasilkan uang. Tetapi, kalau tabungan pensiun atau tabungannya pensiunan, pemiliknya bisa mengamuk. Apalagi kalau pajaknya 50%, 80% atau 90%. Dengan inflasi, berapapun besarnya, 80% atau 90% tidak ketara. Pemilik tabungan tidak tahu dan tidak merasa bahwa dia sedang dirampok secara legal. Inflasi adalah cara yang kejam, legal dan immoral untuk menarik dana dari masyarakat.
Paman saya tahun 1994 pensiun dan mendapat uang pensiun sebesar Rp 60 juta. Umurnya sudah 60 tahun waktu itu. Harga emas – uang sejati, waktu itu Rp 20,000 per gram. Makan di warung Tegal hanya Rp 500 sudah kenyang. Dia berharap uang itu bisa dipakai untuk sisa hidupnya yang paling lama 20 tahun lagi.
Tetapi apa yang terjadi? Pada saat ini, 11 tahun kemudian, makan di warung Tegal sudah Rp 5000 – Rp 8000. Harga emas sudah Rp 135 ribu/gram. Andaikan dia tidak mengkonsumsi tabungannya saja, nilai riil dari tabungannya sudah susut menjadi 10% - 20% saja. Kejam! Secara praktis uangnya habis. Tua, tidak mampu kerja dan miskin setelah dirampok secara legal.
Inflasi adalah cara memindahkan kekayaan riil (wealth) dari penabung, pemilik uang dan kreditur, ke penghutang. Kalau paman saya yang punya uang Rp 60 juta di bank tahun 1995, karena inflasi nilai riilnya turun menjadi 15% saja setelah 10 tahun, maka seorang penghutang (yang macet lagi) yang punya hutang di bank Rp 60 juta maka 10 tahun kemudian nilai riil hutangnya hanya tinggal 15% tanpa harus membayarnya. Sebagai ilustrasi, seorang penabung dengan nilai nominal Rp 60 juta, pada tahun 1995, punya kekayaan ekivalen dengan 3 kilo emas (1 gram emas harganya Rp 20,000). Pada tahun 2005, Rp 60 juta hanya bernilai kurang dari 0.45 kilo. Sekarang anda faham kenapa inflasi menjadi kebijakan pemerintah pada tahun 1995 – 2000. Bisa diasumsikan karena kroni-kroni pejabat yang banyak hutang diuntungkan dengan inflasi. Cara yang legal, tidak ketara, immoral dan kejam.
Sudah Sejak Mulainya Revolusi Kemerdekaan
Uang fiat diberlakukan sejak jaman kemerdekaan. Saya tidak tahu pastinya. Ini asumsi berdasarkan pertanyaan sederhana saja. Memangnya republik yang baru punya cadangan emas untuk menyokong sistem keuangan dengan standard emas? Republik Indonesia yang baru di tahun 1945 tidak punya asset apa-apa.
Apa yang telah dilakukan oleh para politikus pemerintah negara ini sepanjang 60 tahun dari mulai merdeka sampai sekarang sangat keterlaluan. Dalam sejarah Romawi dulu penghancuran mata uangnya, dinarius, dari berkadar emas 97% menjadi 0.2% saja diperlukan waktu 250 tahun. Di Indonesia dari mulai berdiri 60 tahun lalu sampai sekarang pengenceran uang sudah sampai 1-2 trilliyun kali. Artinya kalau dulu pada saat kemerdekaan anda punya uang Rp 1000, nilai sekarang hanya se-per- milyar rupiah. Praktis menjadi nol dalam masa 60 tahun. Politikus di Kekaisaran Romawi nampak seperti amatir dibandingkan politikus di pemerintahan Indonesia.
Kalau inflasi memang ada maka anda tentu mengharap bahwa sekarang ada mata uang nominal 100 triliyun (100 dengan 12 nol di belakangnya). Kata nenek saya, hal itu tidak perlu, karena ada kiat lain. Jadi disamping inflasi, ada satu kiat-kotor dari politikus pemerintah untuk menutupi tindakannya. Yaitu dengan mengganti nominal. Tahun 1946, pemerintah membuat uang baru ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) untuk menggantikan uang Jepang. Uang Jepang dengan nilai nominal Rp 1000 menjadi Rp 1. Tahun 1950 dilakukan pengguntingan uang. Artinya Rp 10 menjadi Rp 5. Gunting Syafrudin namanya. Tahun 1959 dilakukan penerbitan uang baru. Rp 100 uang lama menjadi Rp 10. Dan lebih parahnya lagi di tahun 1959 ini semua tabungan di bank yang melebihi Rp 25 ribu, dibekukan. Kasar permainannya. Akhir tahun 1965 Sukarno memotong nilai nominal lagi dari Rp 1000 menjadi Rp 1. Bisa dibayangkan berapa banyak angka nol yang harus ada jika penghapusan angka-angka nol itu tidak dilakukan secara periodik. Anda akan menjumpai uang dengan nilai nominal milyaran (dengan 9 – 12 nol), seperti di Turki – bahkan lebih parah.
Sekarang Semua Sudah Jadi Jutawan-Kere.
Tahukan anda berapa banyak jutawan di Indonesia? Jawabannya: banyak!! Supir taksi di Jakarta rata-rata penghasilannya Rp 1 juta/bulan. Apakah dia makmur? Hidupnya di rumah petak yang disewanya dengan harga Rp 250 ribu. Jutawan yang tidak punya rumah. Kalau tidak ada pemotongan nilai nominal uang rupiah, mereka ini sudah jadi zilliyuner. Pengemispun sudah jadi jutawan sekarang ini. Nampaknya tujuan kemerdekaan secara harfiah sudah tercapai. Semua orang jutawan, zilliyuner. Maaf kalau saya agak sarkastik.
Ada yang mencoba meyakinkan bahwa peningkatan taraf hidup terjadi sejak orde baru. Pada tahun 1969 – 70, GDP kita sekitar US$ 70. Setelah 36 tahun kemudian, tahun 1999-2000, menjadi kurang lebih US$ 1000. Anda tahu dimana letak tipu muslihatnya? Tolok ukurnya adalah US$. Mata uang US$ sejak tahun 1971 menjadi mata uang fiat dan oleh politikus di Amerika juga sudah diencerkan (diinflasikan). Nilai riil dollar sekarang ini hanya setara dengan kurang dari 10 cent tahun 1970. Jadi harus diukur dengan uang sejati – emas. GDP Indonesia yang US$ 70 di tahun 1969 itu ekivalen dengan 2 oz atau 62 gram emas. Sekarang harga emas $ 430/oz sudah naik dari US$ 35 ditahun 1969. Jadi nilai $1000, kurang lebih 2 – 2.5 oz emas. Jadi GDP kita dalam uang sejati praktis sama. Tiga puluh enam tahun pembangunan orde baru kemakmuran kita tidak beranjak kemana-mana. Bahkan kalau kalau dilihat distribusi kekayaan yang ada, sekarang ini katanya dan nampaknya distribusinya tidak semerata di tahun 1969-1970. Jadi jangan heran kalau sekarang ini orang tidak lebih makmur dibandingkan 35 tahun lalu. Dibandingkan jaman normal seperti penuturan nenek saya, bisa jadi jaman normal lebih makmur. Nampaknya pengorbanan para pahlawan hanya sia-sia.
Tolok ukur uang sejati, emas dan perak bukan untuk memanipulasi angka pertumbuhan. Emas dan perak nilai riilnya kekal. Misalnya harga kambing pada 14 abad yang silam di jazirah Arab adalah 1-2 dinar (1 dinar = 4.3 gram emas kurang lebih) dan ayam 1 dirham (4.1 gram perak). Sekarangpun harganya sama. Kambing yang ukuran sedang adalah Rp 500-600 ribu. Bukankah ini dekat dengan 4.3 gram emas (1 gram emas saat ini Rp 135 ribu). Uang sejati tidak mengenal tempat dan waktu. Nilainya baka dan terjaga.
Setelah melihat argumen bahwa kita selama 35 tahun ini kemakmuran kita stagnan, tentunya timbul pertanyaan bagaimana dengan pertumbuhan yang 6% - 9% GDP pada saat kita hampir menjadi macan Asia? Tanya saja pada pemerintah atau Bank Dunia atau IMF. Secara ringkas mungkin kita bisa menyimpulkan dari data ekonomi selama 60 tahun merdeka bahwa kemerdekaan adalah bebas dari penghisapan lembut penjajah Belanda dan masuk ke penghisapan politikus bangsa sendiri yang lebih rakus dan kejam. Itu hanya opini saya. Kalau pendapat anda berbeda, saya tidak bisa memaksa. Sekarang ini jaman merdeka kok.
Kalau kita tanyakan apa arti kemerdekaan, mungkin sekali jawabannya bagi masing-masing orang berbeda. Ada beberapa kata yang berkaitan dengan kemerdekaan. Kemerdekaan, kebebasan, ketidak terikatan yang mungkin masing-masing bepadanan dengan independence, freedom, liberty, dalam bahasa Inggris. Bagi Amerika Serikat (US), freedom berarti menyerang Iraq, Vietnam, Afganistan atau Granada. Bagi para pekerja asing, expatriate, di Indonesia, hari kemerdekaan Indonesia adalah periode sibuk baris-berbaris, main panjat pinang dan banyak pidato di RT/RW. Bagi anak sekolah adalah masa libur atau tidak banyak masuk kelas. Bagi pengendara motor, merdeka artinya semau-gue di jalan raya.
Katanya (saya tekankan, katanya), salah satu aspek kemerdekaan adalah adanya keadilan dan bebas dari penghisapan ekonomi. Katanya, pada jaman Belanda ada tamam-paksa, pajak yang tinggi yang merupakan bentuk penghisapan ekonomi. Dalam kontek ekonomi, nenek saya almarhumah, dulu, di tahun 60an sering mengeluh:”kapan sih merdekanya dan revolusinya selesai”. Di tahun 70an dia juga mengeluh:”kapan pembangunannya selesai”. Dia ingin kembali ke jaman normal (sebutan dia untuk jaman Belanda), jaman dimana harga relatif stabil dan hidup berkecukupan. Bagi nenek saya yang mengalami jaman normal, jaman kemerdekaan dan jaman pembangunan, bisa membandingkan dan tahu persis mengenai ketiga jaman tersebut. Saya hanya tahu dari sejarah. Dan banyak dari anda – pembaca sekalian – tidak tahu apa-apa mengenai perbandingan ketiga jaman ini, karena pengetahuan sejarahnya kurang atau tidak peduli. Waktu jaman normal dulu, katanya, duit 2 sen bisa untuk makan sehari. Rumah di Kali Urang harganya 1000 sampai 2000 perak. Katanya. (Catatan: Rupiah, Rupee artinya perak). Sekarang, mana dapat segitu. Kata orang-orang karena inflasi. Pengertian nenek saya, inflasi adalah bertambahnya angka nol di mata uang yang beredar. Kalau dulu hanya ada Rp 100 dalam peredaran, kemudian muncul Rp 1000, muncul lagi Rp 10,000. Kemudian kalau sudah kebanyakan nol nya dikeluarkan uang baru, Rp 1000 lama ditukar dengan Rp 1. Angka nol sudah kebanyakan terpaksa dibuang karena takut tidak cukup tempatnya.
Uang Kertas Fiat dan Inflasi
Bagi orang yang tidak tahu, inflasi dianggap suatu fenomena ekonomi yang alami. Maksudnya bukan buatan manusia. Bukan hasil rekayasa. Pendapat ini yang salah. Inflasi adalah bertambahnya uang yang beredar tanpa dibarengi oleh pertambahan barang dan jasa. Konsekwensinya harga-harga menjadi naik. (Kenaikan harga adalah konsekwensi dari inflasi). Dengan kata lain bahwa nilai uang menjadi turum. Siapa yang menambah uang yang beredar yang konsekwensinya nilainya turun? Ya tentu saja yang berwenang mengeluarkan uang – pemerintah. Dan juga pemalsu uang, yang tentunya kalau tertangkap akan dipenjara.
Persepsi orang awam, untuk mencetak uang kertas harus ada cadangan emasnya sebagai kolateral/jaminan. Persepsi ini salah. Secara teknis, saat ini tidak ada aturan mengenai berapa banyak uang yang boleh dikeluarkan oleh pemerintah. Uang kertas rupiah yang beredar bukan uang sejati, tetapi uang fiat. Artinya uang fiat adalah uang yang disokong oleh undang-undang bukan oleh nilai intrinsik fisik uang itu sendiri. Misalnya emas atau perak, mempunyai nilai intrinsik tertentu seharga/sebanding beratnya. Sedangkan uang nominal Rp 100,000 misalnya, nilai intrinsik dari kertas, tinta dan ongkos cetaknya jauh dibawah nilai nominalnya yang Rp 100,000 itu. Tanpa undang-undang yang melindunginya, harga uang kertas Rp 100,000 tidak lebih dari uang game Monopoli. Saya lebih suka menyebut uang fiat ini sebagai uang politikus, karena biasanya ada gambar politikus atau gambar orang yang dibanggakan (dijadikan pahlawan) oleh politikus.
Kalau begitu pemerintah bisa seenak udelnya mencetak uang dan mengedarkannya? Betul! Sejarah telah membuktikannya. Mungkin ada otoritas keuangan yang menyanggah pendapat saya. Seandainya ada aturan yang mengontrol penambahan volume jumlah uang yang beredar, tidak akan membatasinya. Mungkin hanya smoke screen saja.
Inflasi Sebagai Alat Penghisapan
Pajak merupakan cara yang tidak populer untuk menarik uang dari masyarakat. Kalau pajak tinggi, jangan harap partai yang berkuasa akan bisa terpilih lagi. Ada cara legal yang tidak terlalu canggih tapi terselubung dan spektrumnya yaitu melalui inflasi. Dengan inflasi, sektor-sektor yang sensitif seperti semua bentuk tabungan dari mulai tabungan pensiun, tabungan harian, deposito terkena. Orang masih toleransi kalau penghasilannya dipajaki karena dia masih bekerja, masih bisa menghasilkan uang. Tetapi, kalau tabungan pensiun atau tabungannya pensiunan, pemiliknya bisa mengamuk. Apalagi kalau pajaknya 50%, 80% atau 90%. Dengan inflasi, berapapun besarnya, 80% atau 90% tidak ketara. Pemilik tabungan tidak tahu dan tidak merasa bahwa dia sedang dirampok secara legal. Inflasi adalah cara yang kejam, legal dan immoral untuk menarik dana dari masyarakat.
Paman saya tahun 1994 pensiun dan mendapat uang pensiun sebesar Rp 60 juta. Umurnya sudah 60 tahun waktu itu. Harga emas – uang sejati, waktu itu Rp 20,000 per gram. Makan di warung Tegal hanya Rp 500 sudah kenyang. Dia berharap uang itu bisa dipakai untuk sisa hidupnya yang paling lama 20 tahun lagi.
Tetapi apa yang terjadi? Pada saat ini, 11 tahun kemudian, makan di warung Tegal sudah Rp 5000 – Rp 8000. Harga emas sudah Rp 135 ribu/gram. Andaikan dia tidak mengkonsumsi tabungannya saja, nilai riil dari tabungannya sudah susut menjadi 10% - 20% saja. Kejam! Secara praktis uangnya habis. Tua, tidak mampu kerja dan miskin setelah dirampok secara legal.
Inflasi adalah cara memindahkan kekayaan riil (wealth) dari penabung, pemilik uang dan kreditur, ke penghutang. Kalau paman saya yang punya uang Rp 60 juta di bank tahun 1995, karena inflasi nilai riilnya turun menjadi 15% saja setelah 10 tahun, maka seorang penghutang (yang macet lagi) yang punya hutang di bank Rp 60 juta maka 10 tahun kemudian nilai riil hutangnya hanya tinggal 15% tanpa harus membayarnya. Sebagai ilustrasi, seorang penabung dengan nilai nominal Rp 60 juta, pada tahun 1995, punya kekayaan ekivalen dengan 3 kilo emas (1 gram emas harganya Rp 20,000). Pada tahun 2005, Rp 60 juta hanya bernilai kurang dari 0.45 kilo. Sekarang anda faham kenapa inflasi menjadi kebijakan pemerintah pada tahun 1995 – 2000. Bisa diasumsikan karena kroni-kroni pejabat yang banyak hutang diuntungkan dengan inflasi. Cara yang legal, tidak ketara, immoral dan kejam.
Sudah Sejak Mulainya Revolusi Kemerdekaan
Uang fiat diberlakukan sejak jaman kemerdekaan. Saya tidak tahu pastinya. Ini asumsi berdasarkan pertanyaan sederhana saja. Memangnya republik yang baru punya cadangan emas untuk menyokong sistem keuangan dengan standard emas? Republik Indonesia yang baru di tahun 1945 tidak punya asset apa-apa.
Apa yang telah dilakukan oleh para politikus pemerintah negara ini sepanjang 60 tahun dari mulai merdeka sampai sekarang sangat keterlaluan. Dalam sejarah Romawi dulu penghancuran mata uangnya, dinarius, dari berkadar emas 97% menjadi 0.2% saja diperlukan waktu 250 tahun. Di Indonesia dari mulai berdiri 60 tahun lalu sampai sekarang pengenceran uang sudah sampai 1-2 trilliyun kali. Artinya kalau dulu pada saat kemerdekaan anda punya uang Rp 1000, nilai sekarang hanya se-per- milyar rupiah. Praktis menjadi nol dalam masa 60 tahun. Politikus di Kekaisaran Romawi nampak seperti amatir dibandingkan politikus di pemerintahan Indonesia.
Kalau inflasi memang ada maka anda tentu mengharap bahwa sekarang ada mata uang nominal 100 triliyun (100 dengan 12 nol di belakangnya). Kata nenek saya, hal itu tidak perlu, karena ada kiat lain. Jadi disamping inflasi, ada satu kiat-kotor dari politikus pemerintah untuk menutupi tindakannya. Yaitu dengan mengganti nominal. Tahun 1946, pemerintah membuat uang baru ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) untuk menggantikan uang Jepang. Uang Jepang dengan nilai nominal Rp 1000 menjadi Rp 1. Tahun 1950 dilakukan pengguntingan uang. Artinya Rp 10 menjadi Rp 5. Gunting Syafrudin namanya. Tahun 1959 dilakukan penerbitan uang baru. Rp 100 uang lama menjadi Rp 10. Dan lebih parahnya lagi di tahun 1959 ini semua tabungan di bank yang melebihi Rp 25 ribu, dibekukan. Kasar permainannya. Akhir tahun 1965 Sukarno memotong nilai nominal lagi dari Rp 1000 menjadi Rp 1. Bisa dibayangkan berapa banyak angka nol yang harus ada jika penghapusan angka-angka nol itu tidak dilakukan secara periodik. Anda akan menjumpai uang dengan nilai nominal milyaran (dengan 9 – 12 nol), seperti di Turki – bahkan lebih parah.
Sekarang Semua Sudah Jadi Jutawan-Kere.
Tahukan anda berapa banyak jutawan di Indonesia? Jawabannya: banyak!! Supir taksi di Jakarta rata-rata penghasilannya Rp 1 juta/bulan. Apakah dia makmur? Hidupnya di rumah petak yang disewanya dengan harga Rp 250 ribu. Jutawan yang tidak punya rumah. Kalau tidak ada pemotongan nilai nominal uang rupiah, mereka ini sudah jadi zilliyuner. Pengemispun sudah jadi jutawan sekarang ini. Nampaknya tujuan kemerdekaan secara harfiah sudah tercapai. Semua orang jutawan, zilliyuner. Maaf kalau saya agak sarkastik.
Ada yang mencoba meyakinkan bahwa peningkatan taraf hidup terjadi sejak orde baru. Pada tahun 1969 – 70, GDP kita sekitar US$ 70. Setelah 36 tahun kemudian, tahun 1999-2000, menjadi kurang lebih US$ 1000. Anda tahu dimana letak tipu muslihatnya? Tolok ukurnya adalah US$. Mata uang US$ sejak tahun 1971 menjadi mata uang fiat dan oleh politikus di Amerika juga sudah diencerkan (diinflasikan). Nilai riil dollar sekarang ini hanya setara dengan kurang dari 10 cent tahun 1970. Jadi harus diukur dengan uang sejati – emas. GDP Indonesia yang US$ 70 di tahun 1969 itu ekivalen dengan 2 oz atau 62 gram emas. Sekarang harga emas $ 430/oz sudah naik dari US$ 35 ditahun 1969. Jadi nilai $1000, kurang lebih 2 – 2.5 oz emas. Jadi GDP kita dalam uang sejati praktis sama. Tiga puluh enam tahun pembangunan orde baru kemakmuran kita tidak beranjak kemana-mana. Bahkan kalau kalau dilihat distribusi kekayaan yang ada, sekarang ini katanya dan nampaknya distribusinya tidak semerata di tahun 1969-1970. Jadi jangan heran kalau sekarang ini orang tidak lebih makmur dibandingkan 35 tahun lalu. Dibandingkan jaman normal seperti penuturan nenek saya, bisa jadi jaman normal lebih makmur. Nampaknya pengorbanan para pahlawan hanya sia-sia.
Tolok ukur uang sejati, emas dan perak bukan untuk memanipulasi angka pertumbuhan. Emas dan perak nilai riilnya kekal. Misalnya harga kambing pada 14 abad yang silam di jazirah Arab adalah 1-2 dinar (1 dinar = 4.3 gram emas kurang lebih) dan ayam 1 dirham (4.1 gram perak). Sekarangpun harganya sama. Kambing yang ukuran sedang adalah Rp 500-600 ribu. Bukankah ini dekat dengan 4.3 gram emas (1 gram emas saat ini Rp 135 ribu). Uang sejati tidak mengenal tempat dan waktu. Nilainya baka dan terjaga.
Setelah melihat argumen bahwa kita selama 35 tahun ini kemakmuran kita stagnan, tentunya timbul pertanyaan bagaimana dengan pertumbuhan yang 6% - 9% GDP pada saat kita hampir menjadi macan Asia? Tanya saja pada pemerintah atau Bank Dunia atau IMF. Secara ringkas mungkin kita bisa menyimpulkan dari data ekonomi selama 60 tahun merdeka bahwa kemerdekaan adalah bebas dari penghisapan lembut penjajah Belanda dan masuk ke penghisapan politikus bangsa sendiri yang lebih rakus dan kejam. Itu hanya opini saya. Kalau pendapat anda berbeda, saya tidak bisa memaksa. Sekarang ini jaman merdeka kok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar